Perjalanan ke Banyuwangi dimulai dari kantor kami di Jakarta. Kita berangkat sembari matahari terbit menuju Bandara Soekarno Hatta dan sampai di Bandara Juanda pukul 10 pagi. Kami disambut tour guide kami yang sudah menunggu dari pagi melanjutkan perjalanan menuju kunjungan pertama yaitu Kawah Wurung. Suasana perkotaan berubah ketika jalanan mulai menanjak. Jalan diiringi lereng pegunungan di sebelah kanan dan lembah hijau di sebelah kanan. Kami istirahat sebentar di pos pertama sambil menyesuaikan tubuh dengan udara dan menghayati panorama Gunung Ijen.
Setelah tiba di parkiran Kawah Wurung dan tergesa-gesa mendaki bukit sebelum matahari terbenam. Rumput berbunga dan balai-balai kecil di kaki bukit membuat pemandangan seperti di Alps. Di ketinggian 1500 m dpl, angin mulai terasa lebih kencang dan udara terasa lebih dingin dari sebenarnya, ditambah cuaca yang sedang gerimis. Rasa dingin terkalahkan oleh pemandangan kawah yang asri, dilengkapi dengan sapi-sapi yang terlihat seperti sekumpulan titik putih berbulu. Saat sampai di kaki bukit, matahari sudah terbenam. Di kegelapan, kami serombongan masuk ke dalam mobil. Sebelum supir masuk, tiba-tiba mobil yang sudah di rem tangan mundur menuju jurang. Seisi mobil langsung panik karena tidak ada yang dapat kami lakukan. Dengan sigap, supir masuk ke dalam dan menginjak rem. Kami serentak menghembus nafas dengan lega walaupun masih terpacu adrenalin dan lanjut perjalanan menuju homestay. Selama sisah perjalanan, kejadian ini terulang lagi dua kali di tempat-tempat yang berbeda.
Kami berangkat tengah malam di hari kedua menuju Kawah Ijen. Kami berhenti sebentar di gerbang pos untuk meminta ijin kepada satpam, kemudian hal yang serupa terjadi. Mobil mulai mundur tetapi tidak seekstrim pertama. Keluar dari mobil, kami mulai menggigil. Udara sangat dingin dan angin cukup kencang, bahkan mulut kita mengeluarkan uap ketika berbicara. Setelah sarapan mie gelas dan teh hangat di warung dekat kaki gunung, kami mengenakan peralatan dan mulai mendaki gunung dalam kegelapan. Penerangan hanya dari lampu senter yang dibantu bulan dan bintang. Beranjak beberapa puluh meter dari titik awal, badan sudah mulai terasa hangat walaupun angin masih kencang. Di kanan kiri terlihat bayangan pohon dan terdengar desir angin. Walaupun trek hanya 3.8 km, tetapi lebih banyak tanjakan, dengan sedikit dataran. Kami hanya dapat tengok ke bawah melihat langkah kaki dan berusaha tidak tergoda melihat ke tanjakan di depan agar tidak patah semangat. Di sekitar pos ke 3, kaki sudah mulai terasa pegal. Para supir taksi gerobak menghasut kami untuk menggunakan jasa mereka dengan memberi tahu bahwa perjalanan masih jauh. Kenyataannya memang perjalanan masih jauh. Menuju pos terakhir, kami melihat lampu-lampu di kejauhan yang ternyata kota Banyuwangi. Kami bahkan dapat melihat lautan dan pulau Bali di seberangnya. Sampai di pos terakhir, kami istirahat sebentar kemudian melanjutkan perjalanan ke puncak sejauh 1 km.
Jalanan ke puncak lebih sempit dan berbahaya sebab di sebelah kanan kita langsung jurang. Matahari mulai terbit di sisi belakang tebing. Di sisi kanan juga mulai terlihat lembah dan gunung dengan lebih jelas. Pepohonan di sekitar puncak lebih kering karena baru terjadi kebakaran hutan. Kami terus mendaki sambil memotret pemandangan hingga akhirnya sampai ke puncak. Kami dapat lihat banyak pengunjung yang berkumpul di mulut kawah. Bau belerang menyengat hidung kami saat mendekati kawah. Kawah berwarna biru langit dinaungi asap putih dan dilingkari bebatuan putih dan belerang kuning. Angin kencang mulai membekukan tangan kita sehingga kami mendaki lagi agar terkena sinar matahari. Arah matahari tepat sekali untuk foto portrait, sehingga kami banyak foto bersama di sana. Perjalanan balik, walaupun sama lelahnya, terasa lebih cepat.